Orang - orang berkata jatuh
cinta itu indah, berjuta rasanya, menyenangkan. Buat ku BULLSHIT!! Memang, di satu
sisi kata itu memang benar adanya. Tapi kita harus menerima konsekuensinya. Kita
harus menerima resiko apa yang kita lakuin. Semakin besar rasa seseorang,
semakin berat perasaan yang ditampung orang itu.
Gak selamanya jatuh cinta itu
asyik. Gak selamanya jatuh cinta itu menyenangkan. Semua hal itu kalian
dapatkan ketika perasaan kalian sanggup ditampung sama orang yang kalian cintai.
Bagaimana dengan yang tidak direspon ? Bagai setetes hujan yang jatuh di tengah
danau. Ada, tapi tidak akan dianggap. Memang beriak, tapi apakah ada orang yang
rela ke tengah danau hanya untuk melihat riakan air tersebut ?
*Memainkan Piano : Heaven - Bryan Adams
"Laahhh, itu mulu yang kamu mainin, nggak ada lagu lain gitu?" Riri ngoceh.
"Lagu ini doang yang ku
tau."
"Merendah aja kamu. Nampil
di konser kemaren aja kamu tampil bersih dengan beberapa lagu."
"Itukan cuma keberuntungan
ku, Riiii."
"Dari SMP kamu emang
pandai ngeles ya, Di." sambil mukul lengan ku.
Hening.
Lantunan gitar yang dimainkan Riri menambah suara hiruk pikuk ruang musik ku. Tangan halusnya memeluk gitar dan jemarinya asyik memetikkan senar gitar. Sementara jemari ku sedang menari diatas Tuts Keyboard. Memainkan lagu kesukaan ku.
And baby, you're all that I want
When you're
lyin' here in my arms
I'm findin' it hard to believe
We're in heaven
I'm findin' it hard to believe
We're in heaven
Iya, aku sedang jatuh cinta
saat itu. Dengan orang yang bahkan tidak ada menarik-menariknya bagi kebanyakan
orang. Berharap dapat menggenggam erat tangan hangatnya. Merangkulnya dengan
penuh kasih sayang, dan memeluknya dengan segenggam cinta. Aku bahkan nggak tau
cinta apakah itu namanya.
"Aku tau kamu kenapa sekarang.
Kamu sedang jatuh cinta kan?" Riri memecah keheningan.
"Nggak perlu ku
jawab."
"Kebiasaan kamu sih, tiap
jatuh cinta kamu bakal memainkan lagu-lagu romantis lama. Tapi tumben yang melow
banget?"
"Kali ini beda Ri. Kamu
nggak pernah liat aku begini sebelumnya."
"Ayolah, cerita ke aku. Aku
pengen denger apa yang kamu rasa."
"Ahh, pokoknya gitulah.
Yuk, cari makan. Laper. Nyokap ku nggak masak hari ini."
"Kamu ngeboss kan?"
"Udaahh, ikut aja. Aku
ijin minjem mobil sama bokap dulu."
"Bukannya kalo sama aku
Bokap kamu pasti ngizinin ?"
"Formalitas aja daah. Haha."
"Formalitas aja daah. Haha."
Tiap jalan tanpa Riri, serasa
nggak lengkap. Yang nggak lengkap itulah aku nggak tau. Si Riri inilah sahabat ku
dari SMP. Aku dikenalin dengan dia sama Bokapnya yang juga temen bokap ku. Dia
udah tau kebiasaanku gmana. Apa yang bakal kulakuin kedepannya semua harus bergantung
pada keputusan dia.
Saking dekatnya sama Riri,
Nyokap udah menyuruhku buat nembak si
Riri. Yaa, kurasa kami berdua belum cocok buat pacaran. Masalah cinta aja masih
saling curhat, gmana mau selesain masalah cinta sendiri coba.
Aku sama Riri makan di tempat
angkringan. Aku sama dia nggak ada masalah gengsi ke tempat yang beginian.
Malah kami senang banget, harga pas buat dompet siswa, suasana hangat. Tempat
nyaman. Mengingatkan tentang suasana Yogyakarta.
"Udah pengen cerita
belum?" Lagi-lagi Riri membuka obrolan.
"Okelah. Kita cari tempat
buat enak minum jus dulu." Pasrah, dia udah tau sikapku yang siap cerita.
Panjang lebar kubercerita ke
Riri tentang masalahku. Tatapan mata-nya bersahabat. Wajah putih bersihnya meluluhkan
hatiku untuk bercerita. Senyumnya menambah semangatku untuk saling sharing
tentang masalah percintaan kami berdua.
"Jadi gitu. Kamu suka sama
orang sampai-sampai adek kelas yang suka sama kamu sejak lama, kamu jauhin? Goblok.
Tapi tumben banget yak. Tiap yang suka sama kamu, kamu langsung deketin kalo
cantik. Kenapa ini kamu jauhin ? Apa sih yang menarik dari dia? Riri ngoceh layaknya
Wartawan yang sedang mewawancari pelaku korupsi.
"Ya. Kan kubilang ini
beda. Kakamu kamu tanya tentang apa menariknya dia, aku nggak bisa nemuin apa
yang menjadi kriteria cewek idaman ku. Aku cuma suka sama dia. TITIK."
"Hmmmm. Cinta tak
beralasan ya. Berat juga masalahnya. Kamu juga baru pertama juga sih
ngalaminnya."
"Ahh, gitulah. Yaudah,
balik yuk. Kuantar sampe rumah."
Ditengah perjalanan kerumah, aku
melihat dua orang anak SMP sedang berpacaran di toko Milkshake. Pegangan
tangan, kadang berbisik-bisik dan tertawa kecil. Cubit pipi. Mengingatkan ku
tentang gmana pacarannya ku dulu. Memang, kalau diingat agak ilfeel, tapi
itulah saat kita benar-benar dapat menuangkan perasaan kita dengan bebas ke
seseorang. Ku semakin berhasrat dapatin orang yang ku suka.
"Gmana perkembangannya? Kamu
makin deket nggak sama dia ?"
"Kayaknya belum deh, masih
proses. Chatku aja jarang dibales. Di read aja kagak."
"Aku kasih saran mau
?"
"NOOPPPEEE. Terakhir kali kamu
nyaranin aku kenalan sama cewek, aku malah di sergap satpam gara2 dikira
Penjahat Kelamin."
"Yaah, nawarin diri aja
sih. Gini aja, gmana kalo kamu minta saran dari temen kamu yg ahlinya dalam
begini2?"
"Udah, Ri. Dua orang teman
ku. Satu cewek, satu cowok. Udah ku ceritain semua ke mereka. Karena saran
mereka, aku nge chat si dia ini."
"Nah, bagus dong. Kita
liat ntar ya perkembangannya."
Semakin lama, aku semakin menginginkan
dia untuk menjadi kekasih. Mengingat udah hampir 2 tahun ku sendirian, nggak
punya pacar dan sebentar lagi lulus SMA, aku nggak bisa sia-siain masa SMA ku
dengan nggak berpacaran. Aku harus usaha.
Sudah
terlalu lama sendiri
Sudah
terlalu lama aku asik sendiri
Lama
tak ada yang menemani
Rasanyaaaaaa~~~
Tiap hari ku nge-stalk, nge
chat yang aku tahu nggak bakalan di balas. Dan menulis beberapa cerita tentang
cinta. Tentu saja ada kaitannya dengan "dia". Memainkan melodi yang
cocok dengan suara ku. Menyanyikan berbagai lagu kesukaanku pada saat seperti
ini. Dan tiap hari, seperti sedang di tengah lautan dan diatas kapal. Terombang
ambing.
Ya, hampir tiap hari nggak ada
perkembangan sampai saatnya aku rencanain buat ngasih dia komik. Kebetulan dia
juga komik lovers. Tapi berbeda denganku, Aku lebih suka ke action, dia ke
romance. Jadi agak jijay gmana gitu kalo bacanya.
Aku mulailah modus pengen
kerumah dia cuma buat ketemu dan tatap muka langsung. Aku bahkan rela bohong2
ke dia supaya aku bisa sampai kerumahnya. Seenggaknya ketemu lah. Nggak sampe
kerumahnya. Nah, ada suatu momen yg mengharuskan ku kerumahnya. Dia minta bantuan
ku buat beli komik online. Yessssss. Girang. Buka celana dan joget-joget dengan
titit yang menjuntai-juntai. Tanpa pikir panjang, aku langsung minta informasi
yang ada dan cuusss ke ATM.
Setelah selesai transaksi lah
aksi ku dimulai. Setelah mengelap ingus yang berceceran disekitar mulut, ku telepon
dia buat ngasih bukti transfer. Setelah memastikan dia dirumah, aku balik
kerumah dan mengambil komik yang udah siap ku serahin ke pemilik sesungguhnya.
Di tengah jalan, aku selalu memikirkan kata apa yang bagus buat dibicarain. Tingkah
apa yang mau kupake buat ngadepin dia. Setelah dipikirin dan sampai dirumahnya.
Aku gugup. Nelpon dia buat keluar rumah. Ngasih komik dan bukti transfer. Terus
pulang. FAAKK. Aku mati kutu buat ngomong apaan ke dia. Tapi yaudahlah. Yang
penting ketemu, hati berbunga-bunga.
Semakin hari perkembangan
semakin menurun. Aku nggak berani bilang atau chat apapun ke dia. Cuma stalking
dan sharing dengan dua partner ku itu. Aku emang paling nggak bisa dalam
naklukin cewek.
"Udahlah, kalo emang nggak
ada perkembangan, kamu tinggalin aja dia."
"Berat bagi ku."
"Tinggalin bukan berarti
melepaskan, Di. Tinggalin ya tinggalin. Kamu masih bisa bertegur sapa ke
dia."
"Tapi ku pengen dia jadi
pacar ku."
"Jangan ambil resiko yang
tinggi lah. Aku ngerti kamu. AKu temenmu yang paling bisa kamu andalin."
"Gini aja. Suruh temenku
aja yang ngasih tau dia kakamu ku suka sama dia. Aku mau liat reaksinya."
"GILAAAA!!! Kalo reaksinya
bagus nggak masalah. Kalo nggak bagus, kamu bakal di jauhin."
"Namanya juga
pertaruhan."
"Kalo reaksinya nggak bagus,
aku nggak bakalan negur kamu. Entah sampai kapanpun itu."
Jadilah aku pergi ke kedai kopi
bersama partner ku yang cewek. Aku lagi-lagi minta saran. Dan ujung-ujungnya ya
minta tolong dia supaya ngasih tau si doi kalo aku suka sama dia. Temenku nggak
nyaranin itu. Resikonya terlalu tinggi. Aku tetap bersikeras buat ngeliat
reaksinya.
Beberapa hari kemudian, aku
ketemuan lagi. Dan berharap yang keluar dari mulutnya adalah berita bagus. Namun
harapan tak sesuai kenyataan. Reaksinya nggak bagus. Dan si doi bener-bener
membuat jarak yang terbentang lebar antara aku dan dia. Aku nggak bisa
ngapa-ngapain selain mandang dia dari jauh.
Sampai-sampai di suatu acara,
yang biasanya dia mengajakku foto bareng, kali ini bener-bener nggak ada
satupun fotoku tertangkap kamera sama dia. Bener-bener hampa. Disetiap kulihat
dia minta foto bareng temen-temenku yang lain, aku cuma duduk diam. Melihat
pemandangan sekitar. Mendengar hiruk pikuk kota, dan melihat kabut yang
menggumpal di saat bulan bersinar.
"Halo. Ri."
"Kenapa? Reaksinya nggak
bagus?"
"I-Iya. Sekarang dia
menjauh."
"Denger ya. Kalo cewek
udah nggak tertarik sama orang, mau kamu usahain tetap aja dia nggak bakalan
mau sama kamu. Yaa, kecuali dia kasian sama kamu. Dengar saran sahabat dikit
kek!!!"
"Tapi Ri..........."
*Telepon ditutup*
Akhir cerita : Aku kehilangan
orang yang ku sayang. Aku nggak tau pasti kapan aku punya perasaan ini ke dia,
tetapi yang buat ku berhasrat buat dapetin dia adalah ketika kudengar dia
pernah pacaran, tetapi hanya main-main. Aku ingin bersama dia buat ngerasain
pacaran ala anak SMA. Nggak hanya dia, sahabat ku yang dari kecil nemanin ku
sekarang udah nggak mau sms-an sama teleponan lagi. Aku kerumahnya, bokapnya
bilang nggak ada dirumah. Padahal saat itu aku tahu aku yang salah. Dia bahkan
lebih ngerti keadaanku dibanding diriku sendiri. Dia sahabatku yang paling
ngerti diriku dan The Best of the best friends ever.
Aku nggak hanya kehilangan
satu, tapi dua orang yang penting.
Sekali mendayung, dua tiga
pulau ditinggalkan. Mungkin itulah peribahasa yang cocok buat ku.
And baby,
you're all that I want
When you're
lyin' here in my arms
I'm findin' it hard to believe
We're in heaven
I'm findin' it hard to believe
We're in heaven
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik akan selalu memberi komentar yang baik