PENEMUAN HARTA KARUN!
Cerpen Vebri Satriadi
Disebuah bongkahan kayu yang
terdapat beberapa lembaran kain, dan ditengah lautan yang luas seolah seseorang
hanyalah sebiji debu diatas tumpukan pasir. Gelombang laut yang terpecah
mengeluarkan suara yang sangat membuat semangat berpetualang. Dilengkapi
beberapa besi yang runcing nan tajam siap menusuk dan menebas apa yang dianggap
musuh. Tidak lupa sepetak kayu yang disusun menyerupai perisai yang siap menahan
serangam dari musuh.
Seorang kapten bajak laut sedang
mengembara keliling membelah lautan bersama awak kapalnya. Mereka menginginkan
sebuah harta karun sehingga membuat mereka hidup sejahtera. Sudah
bertahun-tahun lamanya mereka mencari, tetapi tidak ada satu gram emaspun yang
mereka dapatkan. Namun suatu hari, sesuatu terjadi.
"Kapten, coba lihat. Disana ada
sebuah pulau, kurasa itu berbeda dari peta yang kita dapatkan." Kata
seorang Navigator.
"Sudahlah, itu bukan tujuan
dari perjalanan kita. Abaikan saja pulau tersebut. Kita tetap jalan saja."
"Tetapi kapten, kita sudah
bertahun-tahun mencari harta karun, tetapi tidak ada perunggupun yang kita
dapatkan selama ini. Mungkin itu adalah jawaban dari semua ini Kapten."
kata seorang awak kapal.
“KUBILANG LANJUTKAN PERJALANAN INI
DASAR BODOH!.”
Semua awak kapal terdiam dan membisu
mendengar bentakan dari pemimpin mereka. Mereka takut akan diceburkan dan
ditenggelamkan bersama para makhluk laut. Mereka memilih untuk diam.
"Kapten, sepertinya aku melihat
sebuah pulau diseberang pulau yang pertama kulihat."
"Navigator, coba kau lihat
apakah itu memang benar-benar pulau yang kita cari selama ini? Mohon
diteliti."
"Sudah kapten, itu memang benar
pulau yang kita cari selama ini."
"Kalau begitu, mau bagaimana
lagi? Ayo arahkan bongkahan kayu ini menuju pulau dan mendapatkan harta
karun."
"Tetapi kapten, disana terjadi
badai besar. Tidak mungkin kita mendekatinya. Sementara pulau yang satunya lagi
masih sangat aman untuk dijelajahi."
"Aku tidak mau tahu, aku hanya
menginginkan kita sampai disana dan beristirahat lalu mendapatkan harta karun
tersebut. Bukankah selama ini kalian menginginkannya ?"
Mereka menuju pulau tersebut dan
siap menghadapi berbagai rintangan yang ada. Ombak mulai berdatangan dan angin
semakin kencang.
Banyak awak kapal yang mengeluh akan
keputusan pemimpinnya selama ini. Dahulu mereka sangat menghormati keputusan
pemimpin mereka, tetapi sekarang berbanding terbalik. Ada yang mengeluh masih
ingin hidup, bertemu keluarga, dan ingin menyudahi masa lajangnya serta masib
banyak alasan lain.
"Jika kalian tidak ingin
mendengarkan perintahku, CEPAT TERJUN DARI KAPAL INI SEGERA. AKU TIDAK
MENGINGINKAN SEORANG ANAK BUAH YANG CENGENG, PEMBANGKANG DAN BODOH."
teriak sang kapten.
Sepertinya teriakkan seorang kapten
yang tegas nan bijaksana membuat semua awak kapalnya tidak bergeming dan
membuat bibir mereka seakan membeku untuk berbicara.
"Ayo lanjutkan perjalanan
kita."
Memang, semakin mendekati pulau,
badai yang dihadapi semakin menggila. Kapal hampir tunggang langgang, lelah
menghadapi badai. Tetapi semangat sang kapten tidak menggoyahkan hatinya untuk
menjauhi pulau tersebut. Malah membuat semangat sang kapten semakin membara.
Tetapi sikap arogannya membuat awak kapalnya sangat tertekan karena sifatnya
itu.
"Kalau kalian masih ingin
selamat dari badai ini, aku sarankan supaya mengikuti jalurku saja. Kita pakai
kapal kecil yang terdapat dikapal ini lalu menuju pulau yang tenang. Pulau
disini ada dua. Kita harus memilih. Masih ingin selamat atau mendapatkan harta
karun. Coba kalian pikirkan, kalau pulau yang ada badainya tersebut memang
tidak terdapat harta karun, nyawa kita tidak akan terjamin jika kita berada
disana. Sebaliknya, jika pulau yang tenang itu memang tidak ada harta karun,
kita masih bisa selamat dari kematian." teriak seorang awak kapal bernama
Raijawan kepada awak kapal yang lain.
Teriakkan seorang Raijawan tadi
membuat hati awak kapal yang lain berubah haluan. Mereka bingung, ingin hidup
atau ingin setia kepada sang kapten. Pada akhirnya banyak awak kapal yang
setuju dengan argumen untuk kabur tersebut. Hanya tersisa seorang navigator,
dan nahkoda kapal yang masih setia kepada kapten.
"Jika kalian ingin pergi, cepat
kalian pergi. Aku akan mendukung kalian. Kalian boleh membawa semua kapal kecil
yang ada dikapal ini dan seluruh persenjataan lengkap. Tapi satu hal, jika
kalian terancam akan kematian disana, kalian jangan merengek minta dinaikkan ke
kapal ini kembali. Aku akan menendang wajah kalian jika kalian seperti
itu."
Akhirnya, semua awak kapal kecuali
nahkoda dan navigator terjun ke lautan menjauhi pulau tersebut dan pergi
kepulau seberang. Kapal terasa sepi setelah ditinggalkan oleh banyak awak
kapal. Tetapi kapten tetap tidak peduli dengan apa yang terjadi, tujuannya hanya
satu, INGIN MERAIH TUJUANNYA.
Semakin mendekati pulau, badai
semakin menerjang. Gelombang laut menggulung-gulung hingga beberapa kaki
tingginya. Angin badai bertiup menghancurkan gelombang dan pecah. Kondisi pulau
itu sangat tidak memungkinkan untuk hidup dan bertempat tinggal.
Mereka menyandarkan kapal mereka
dipantai pulau tersebut dan ombak masih saling mengejar dengan cepat dan
menghancurleburkan pasir. Sejauh mata memandang, banyak hewan aneh disana.
Hewan ganas yang siap menerkam mangsa yang ada didepannya. Yang haus akan darah
mangsanya. Suasana yang terjadi disana adalah memang musimnya hewan untuk
memperoleh keturunan. Tidak ada yang boleh mengganggu keharmonisan mereka.
Tidak terkecuali manusia yang selalu ingin memperburuk keadaan dan tidak tahu
malu.
“Kapten, aku mempunyai firasat buruk
disini. Suasana disini sangat mencekam. Banyak kematian menyaksikan kita
disini. Kurasa ini bukanlah pilihan yang tepat.” Navigator mulai merasa takut.
“Wahai kapten, saya pengikut setia
anda. Tetapi saya sarankan supaya kita berlabuh ke pulau lain sementara waktu.
Setelah badai mereda, kita kembali kesini.”kata nahkoda kapal.
Kapten bajak laut menuju kearah
hutan seolah tertarik oleh aroma emas dan perak yang ada dipulau tersebut. Ia
tidak memperdulikan saran dari bawahannya. Ia berambisi dan terus menerus
mencari hingga ia puas dan mulai memperdulikan orang lain. Namun sekarang ini,
ia tidak memperdulikan nyawa orang lain, termasuk nyawa dirinya.
Sementara itu ditempat dimana semua
awak kapal berada yang dipimpin oleh Raijawan.
“Teman-teman, kita sementara
beristirahat dahulu. Kita sandarkan perahu-perahu kecil ini ke pantai dipulau
ini. Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan apabila kita kelelahan. Mari kita
berburu dan mencoba mencari harta karun yang ada dipulau ini. Jika kita
mendapatkannya, kita beruntung. Jika tidak, nyawa kita masih dalam keadaan
normal.” Raijawan mengajak teman-temannya.
Mereka semua beristirahat santai di
pantai yang ditiup oleh angin yang menyejukkan badan. Tidak, bahkan hati dan
jiwa pun terasa sejuk oleh suasana disana. Burung berkicau dan terbang
diangkasa pertanda langit yang cerah. Ombak dengan pelan menuju pantai dan
menyapu pasir. Sungguh, suasana yang berbanding terbalik dengan pulau yang
mantan kapten mereka jejaki sekarang. Karena suasana pulau tersebut sangat
damai, mereka secara tidak sadar telah tertidur pulas karena kelelahan
menghadapi ombak dan badai.
Sang fajar sudah siap menyinari bumi
dengan cahaya ganasnya. Ia sudah terlalu lama beristirahat dan ingin bekerja
demi kepentingan makhluk bumi. Kini giliran rembulan yang beristirahat sejenak.
“Teman-teman, segera bangun. Kalian
tidak ingin mati kelaparan kan ? Ayo kita mulai berburu dan mendapatkan
makanan. Kita akan bertahan hidup disini.” Suara seorang Raijawan sudah seperti
pemimpin, namun lebih berkarisma dan bersahabat.
Semua teman-temannya segera bangkit
dari perjalanan mereka dialam bawah sadar mereka. Kantuk masih menyerang
pikiran mereka. Namun ketika berbicara masalah perut, itu sudah tidak bisa
dikompromikan lagi. Mereka mengambil peralatan yang dibawa dari kapal besar dan
siap untuk berburu dan mendapatkan makanan.
Ketika berburu, mereka tampak
bahagia. Mereka tersenyum karena tidak takut akan kematian dan tekanan yang
diberikan. Mereka berburu rusa, babi, bahkan ular. Mereka tampak menikmati
hidup yang diberikan oleh Tuhan. Berbeda ketika mereka berada dibawah naungan
mantan kapten mereka. Mereka selalu dibentak karena tidak mendapatkan hasil
buruan untuk dibagikan ke teman mereka. Bahkan pernah seorang Raijawan tidak
sengaja menghabiskan makanannya ditendak wajahnya hingga lebam karena dianggap
tidak mau berbagi kepada sesama. Tapi kali ini berbeda, karena tidak ada
tekanan, maka mereka santai dan mendapatkan hasil buruan yang memuaskan.
Sampai mereka merasa kenyang dan
bersantai sejenak, mereka memilih untuk berjalan-jalan dipulau tersebut.
Barangkali mereka menemukan sedikit harta yang ditinggalkan para pendahulunya
dahulu.
Semakin menyusuri hutan,
binatang-binatang liar semakin menampakkan dirinya. Angin berhembus semakin
kencang, pertanda akan ada sesuatu yang terjadi. Jangkrik dan katak bernyanyi
untuk memanggil hujan agar turun membasahi bumi.
Seketika, alangkah terkejutnya salah
seorang teman ketika menelaah hutan dan menemukan suatu tempat. “Eh Raijawan,
coba kau lihat kesini.”teriaknya.
Firasat Raijawan mengatakan akan ada
suatu hal yang terjadi. Namun ia urungkan niatnya setelah temannya memanggilnya
dengan keras dan penuh semangat.
“APA-APAAN
INI ?” Teriak seorang teman histeris sekaligus terkejut.
Diwaktu yang sama, ditempat dimana
Kapten bajak laut tersebut berada.
“Mari kita segera temukan harta
karun disini. Aku sudah merasakan hawa harta karun dan juga hawa kemenangan
kita.”
“Tapi disini sangat berbahaya kapten.
Saya takut tidak bisa kembali ke kapal.” Kata seorang navigator.
“Kapten, mungkin kapal kita akan
segera lenyap terbawa arus laut yang dibantu oleh angin dan hujan badai disini
kapten. Aku akan memeriksanya dahulu.” Kata nahkoda kapal.
“JANGAN, jika kalian ingin kembali, kita
temukan dahulu harta karun disini. Kita tidak akan kehilangan nyawa. Hewan
disini sebenarnya jinak, hanya mereka melihat orang baru jadi mereka sedang
beradaptasi.” Sang kapten sudah hafal tetek bengek dari beberapa pulau
terpencil.
Mereka melanjutkan perjalanan. Hewan
dengan sayap membentang seperti burung namun berbadan seperti kadal berkeliaran
dan bergerombol menakuti 3 orang tersebut. Semakin kedalam hutan, keadaan
semakin kacau. Tanah yang semakin becek yang membuat nahkoda tenggelam hingga
setengah badan, tubuh navigator tertiup angin yang sangat kencang karena angin.
Hutan yang lebat membuat cahaya matahari tidak tertembus. Gua-gua yang gelap
terhampar diantara hutan tersebut. Hanya kapten yang tidak patah semangatnya.
Jiwanya terus membara haus akan kemenangan. Kemenangan yang ingin ia peroleh
dengan anak buahnya. Namun, yang tersisa hanyalah navigator dan nahkoda.
Sebenarnya mereka berdua adalah anak
dari teman kapten bajak laut tersebut. Karena temannya tersebut meninggal
setelah terseret gelombang laut karena mencari harta karun bersamanya, kapten
tersebut merasa bertanggung jawab atas insiden tersebut. Ia berjanji akan
menjadikan kedua anaknya tersebut sebagai bajak laut yang membelah samudra dan
menembus langit. Bahkan ia menganggap temannya tersebut sebagai saudara kandung
dan anaknya adalah anak tirinya sendiri. Ia benar-benar merasa kehilangan
temannya tersebut.
“Kapten, saya sarankan sebaiknya
kita beristirahat di gua saja. Aku mulai merasa capek berhari-hari kita
berjalan dan hanya memakan binatang buas yang kita bunuh. Kita tidak pernah
tidur selama kita memasuki pulau ini.” Kata navigator.
“ Benar seperti kata saudara saya
tersebut kapten. Kita mulai kelelahan. Setidaknya berilah kita sedikit waktu
untuk sejenak melepaskan penat. Kaki saya mulai terasa berat untuk berjalan.
Sepertinya ada kesalahan letak pada tulang saya.” Nahkoda menambahkan.
“Waktu kalian beristirahat hanya
sekitar 5 jam. Itu cukup untuk mengembalikan stamina kalian yang sudah terkuras
selama ini.”
Waktu berlalu, mereka berdua
tertidur didalam gua, sementara kapten masih melihat keadaan apakah masih harus
berjalan ataukah beristirahat sejenak untuk 5 jam kedepan. Hujan sudah
berjam-jam yang lalu namun tidak berhenti. Terasa guncangan gunung berapi yang
sedang meletus tidak jauh dari gua yang mereka tempati. Sebenarnya gua itu
adalah tempat yang paling aman dari binatang buas. Itulah sebabnya kapten
mengizinkan anak buahnya tersebut untuk beristirahat.
Kapten tersebut mencoba melihat area
dalam gua. Ia mengambil sebatang kayu kering dan memercikkan api dengan batu
supaya mendapatkan api untuk penerangan. Didalam gua sangat gelap, tidak ada apapun
selain kegelapan yang mengisi area dalam gua tersebut.
Brakkk!!
Kaki kapten tersentak pada benda
yang keras. Ia tidak tahu benda apakah itu. Selama ini yang ia lihat hanyalah
api dan kegelapan yang menemaninya masuk menerobos kedalam gua tersebut. Namun
ia tahu aroma apa itu. Aroma kemenangan.
Namun, betapa terkejutnya ia
mendekatkan obornya ke benda tersebut. Itu adalah peti. Namun ia tidak tahu
apakah itu peti yang berisi emas atau berisi mayat. Ia mencoba memberanikan
diri untuk membuka peti tersebut.
Oh Tuhan. Itu adalah emas.
Benar-benar emas dan perhiasan lainnya. Permata, Intan, Perak, Perunggu, Emas,
dan batu-batu indah lainnya berada dalam satu peti. Ia benar-benar tidak
mengira bahwa ia akan menemukan harta karun yang ia selama ini cari. Ia
benar-benar menyesal tidak membawa banyak awak kapal untuk dibagi-bagikan.
Namun ia senang hanya berbagi tiga dari harta tersebut. Setidaknya itu
membuatnya menjadi semakin kaya.
Segera kapten berlari
terjungkal-jungkal berlari menuju anak buahnya sekaligus anak tirinya tersebut.
Beberapa kali ia terjatuh didalam gua yang gelap sebelum ia menemukan anak
buahnya tersebut sudah tidak bernyawa. Ia menyesal telah memaksakan kehendak
dirinya. Ia sadar bahwa dirinya terlalu berambisi untuk mendapatkan tujuannya.
Ia terlalu egois pada seluruh anak buahnya. Namun ia lebih kehilangan kedua
anak tirinya tersebut.
Dengan sedih hati, ia menyeret peti
harta tersebut dengan menggunakan tali yang dililitkan dengan batang tanaman
yang lumayan kuat. Ia menyeretnya sendirian menuju ke pantai dan ke kapal.
Sekali lagi, sendirian.
Sementara itu ditempat Raijawan dan
teman-temannya berada.
“Tunggu, bukankah ini kampung kita ?
Kampung yang selama ini kita tinggalkan.” Kata seorang teman.
“Sudah banyak berubah ya setelah
sekian lama kita membelah lautan bersama-sama.” Teman yang lain menambahkan.
“Ini berbeda sekali dengan apa yang
kita cari selama ini.”
“Tenanglah wahai teman-teman.
Sebaiknya kita periksa kampung ini terlebih dahulu dengan berjalan-jalan.”
Suasana dikampung tersebut sangat
hangat. Anak kecil bermain, ada yang bermain petak umpet, ada juga yang bermain
sepak bola, bahkan gadis kecilpun tidak mau kalah. Mereka bermain tali yang
dililitkan dan memutarnya bersama-sama. Salah satu dari mereka meloncat
melewati tali tersebut agar tidak dianggap kalah. Warga disana sangat ramah.
Aroma perkebunan kopi melesat laju masuk kedalam lubang hidung. Cuaca cerah
berawan.
“Tunggu, bukankah itu istriku ? Ia ?
Anakku ? Ia sudah besar.” Salah seorang teman melihat istrinya dan anaknya yang
ia tinggalkan selama beberapa tahun. Ia mencium kening istrinya dan langsung
menggendong anaknya tersebut. Ia sangat rindu dengan keluarganya. Ia menangis
bahagia.
“Itu ibu dan ayahku. Hahaha, mereka
semakin tua ya? Sudahlah, langsung aku peluk saja mereka.” Teman yang lain yang
selama rindu pada orang tua akhirnya bertemu dan langsung memeluk erat orang
tuanya tersebut.
Teman-teman yang lain menemui
keluarganya dan berkumpul bersama. Sementara Raijawan mengingatkan
teman-temannya supaya berkumpul di pantai dimana mereka melabuhkan perahu
mereka. Ia ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting.
Sementara menunggu teman-temannya,
Raijawan duduk diatas tebing yang curam. Ia mengingat apa yang ia lakukan
kepada kaptennya beberapa waktu lalu. Ia merasa bersalah karena meninggalkan
kaptennya tersebut hanya bertiga. Sementara ia hanya mengajak, bukan menyuruh teman-temannya
supaya tetap hidup.
Raijawan adalah seorang budak yang
ditemui kaptennya. Kapten melihat ia adalah seorang anak yang pemberani dan cerdas. Raijawan sejak kecil sudah mampu membaca arah mata angin dan gelombang
laut. Tubuhnya juga kuat nan kekar. Sampai kapten memerdekakan dirinya dengan
satu syarat, ia harus menjadi awak kapal kapten. Raijawan menyetujuinya.
Raijawan juga dilatih bertarung oleh
nahkoda untuk melindungi dirinya dan orang lain. Hanya berkisar 6 bulan, ia
sudah mahir memainkan pedang sekaligus tameng untuk berperang. Ia juga
memperdalam ilmu alam yang dilatih oleh navigator. Navigator senang mendapatkan
murid cemerlang. Sebagai seorang awak kapal, ia tidak pantas disebut begitu.
Karena ia sudah melebihi kapten sekalipun.
Namun Raijawan merasa aneh pada
kaptennya selama ini. Semenjak kaptennya kehilangan cincin kesayangannya, ia
mulai berambisi untuk menjadi kaya kembali. Padahal sebelumnya ia tidak
menginginkan harta, namun kebahagiaan. Itu yang didapat Raijawan setelah belajar
dari kaptennya tersebut. Ia sudah merasa lelah dengan perubahan sikap kaptennya
tersebut.
“Hey, kenapa melamun begitu ?
Ayolah, kita rayakan bersama.”
Suara seorang sahabat memecah
lamunan Raijawan yang mendalam.
“Ehh, Oh iya. Aku ingin
memberitahukan sesuatu kepada kalian. Mohon berkumpullah seperti biasa.”
Sebenarnya tidak perlu diberi
komando sekalipun, para awak kapal sudah tahu maksud dari Raijawan. Jika ia
memanggil semuanya berarti itu penting dan harus berkumpul rapi.
“Begini, aku mohon maaf atas
keegoisanku membawa kalian kesini. Aku tidak bermaksud demikian. Aku secara
kebetulan menginginkan pulau ini untuk tempat beristirahat kita.”
“Sudahlah, itu lupakan saja. Kami
sudah mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan.”
“Benarkah ? Apakah itu harta karun
?” Raijawan penasaran.
“Ya. Itu adalah Harta karun terbesar
sepanjang sejarah kita.” Kata seorang teman.
“HARTA KARUN TERBESAR ITU ADALAH
KELUARGA.” Mereka serempak menyorakkan menyebut nama Raijawan yang menjadi
pahlawan mereka selama ini. Mereka bercanda dan membawa Raijawan ke tepi pantai
dan menceburkannya ke tepi laut. Mereka terlihat senang sekali.
Sementara itu ditempat Kapten bajak
laut berada.
“Oh Tidak. Ini mimpi burukku.”
Ia terkejut dan melepaskan ikatan
peti harta karun yang didapatnya. Kakinya melemas setelah melihat kapalnya
sudah pergi meninggalkannya karena terbawa arus laut. Tidak, mimpi buruknya
yang terbesar adalah ia melihat gelombang setinggi 30 meter sedang
menghampirinya.
“TUHAN, AMBILLAH NYAWA SEORANG YANG
EGOIS INI. SESEORANG YANG MEMBUAT TEMAN-TEMANNYA MENINGGALKANNYA. SEORANG YANG
MEMBUAT ANAK TIRINYA MENINGGAL KARENA KEEGOISANNYA. SESEORANG YANG BERNAMA
PANTAVEJA.” Ia berteriak sambil menghampiri Tsunami tersebut. Tak lama setelah
itu, ia terseret Tsunami dan menghilang tanpa bekas sedikitpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik akan selalu memberi komentar yang baik