Sabtu, 20 September 2014

Penemuan Harta Karun!

PENEMUAN HARTA KARUN!
Cerpen Vebri Satriadi

            Disebuah bongkahan kayu yang terdapat beberapa lembaran kain, dan ditengah lautan yang luas seolah seseorang hanyalah sebiji debu diatas tumpukan pasir. Gelombang laut yang terpecah mengeluarkan suara yang sangat membuat semangat berpetualang. Dilengkapi beberapa besi yang runcing nan tajam siap menusuk dan menebas apa yang dianggap musuh. Tidak lupa sepetak kayu yang disusun menyerupai perisai yang siap menahan serangam dari musuh.

            Seorang kapten bajak laut sedang mengembara keliling membelah lautan bersama awak kapalnya. Mereka menginginkan sebuah harta karun sehingga membuat mereka hidup sejahtera. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka mencari, tetapi tidak ada satu gram emaspun yang mereka dapatkan. Namun suatu hari, sesuatu terjadi.


            "Kapten, coba lihat. Disana ada sebuah pulau, kurasa itu berbeda dari peta yang kita dapatkan." Kata seorang Navigator.

            "Sudahlah, itu bukan tujuan dari perjalanan kita. Abaikan saja pulau tersebut. Kita tetap jalan saja."

            "Tetapi kapten, kita sudah bertahun-tahun mencari harta karun, tetapi tidak ada perunggupun yang kita dapatkan selama ini. Mungkin itu adalah jawaban dari semua ini Kapten." kata seorang awak kapal.

            “KUBILANG LANJUTKAN PERJALANAN INI DASAR BODOH!.”

            Semua awak kapal terdiam dan membisu mendengar bentakan dari pemimpin mereka. Mereka takut akan diceburkan dan ditenggelamkan bersama para makhluk laut. Mereka memilih untuk diam.

            "Kapten, sepertinya aku melihat sebuah pulau diseberang pulau yang pertama kulihat."

            "Navigator, coba kau lihat apakah itu memang benar-benar pulau yang kita cari selama ini? Mohon diteliti."

            "Sudah kapten, itu memang benar pulau yang kita cari selama ini."

            "Kalau begitu, mau bagaimana lagi? Ayo arahkan bongkahan kayu ini menuju pulau dan mendapatkan harta karun."

            "Tetapi kapten, disana terjadi badai besar. Tidak mungkin kita mendekatinya. Sementara pulau yang satunya lagi masih sangat aman untuk dijelajahi."

            "Aku tidak mau tahu, aku hanya menginginkan kita sampai disana dan beristirahat lalu mendapatkan harta karun tersebut. Bukankah selama ini kalian menginginkannya ?"

            Mereka menuju pulau tersebut dan siap menghadapi berbagai rintangan yang ada. Ombak mulai berdatangan dan angin semakin kencang.

            Banyak awak kapal yang mengeluh akan keputusan pemimpinnya selama ini. Dahulu mereka sangat menghormati keputusan pemimpin mereka, tetapi sekarang berbanding terbalik. Ada yang mengeluh masih ingin hidup, bertemu keluarga, dan ingin menyudahi masa lajangnya serta masib banyak alasan lain.

            "Jika kalian tidak ingin mendengarkan perintahku, CEPAT TERJUN DARI KAPAL INI SEGERA. AKU TIDAK MENGINGINKAN SEORANG ANAK BUAH YANG CENGENG, PEMBANGKANG DAN BODOH." teriak sang kapten.

            Sepertinya teriakkan seorang kapten yang tegas nan bijaksana membuat semua awak kapalnya tidak bergeming dan membuat bibir mereka seakan membeku untuk berbicara.

            "Ayo lanjutkan perjalanan kita."

            Memang, semakin mendekati pulau, badai yang dihadapi semakin menggila. Kapal hampir tunggang langgang, lelah menghadapi badai. Tetapi semangat sang kapten tidak menggoyahkan hatinya untuk menjauhi pulau tersebut. Malah membuat semangat sang kapten semakin membara. Tetapi sikap arogannya membuat awak kapalnya sangat tertekan karena sifatnya itu.

            "Kalau kalian masih ingin selamat dari badai ini, aku sarankan supaya mengikuti jalurku saja. Kita pakai kapal kecil yang terdapat dikapal ini lalu menuju pulau yang tenang. Pulau disini ada dua. Kita harus memilih. Masih ingin selamat atau mendapatkan harta karun. Coba kalian pikirkan, kalau pulau yang ada badainya tersebut memang tidak terdapat harta karun, nyawa kita tidak akan terjamin jika kita berada disana. Sebaliknya, jika pulau yang tenang itu memang tidak ada harta karun, kita masih bisa selamat dari kematian." teriak seorang awak kapal bernama Raijawan kepada awak kapal yang lain.

            Teriakkan seorang Raijawan tadi membuat hati awak kapal yang lain berubah haluan. Mereka bingung, ingin hidup atau ingin setia kepada sang kapten. Pada akhirnya banyak awak kapal yang setuju dengan argumen untuk kabur tersebut. Hanya tersisa seorang navigator, dan nahkoda kapal yang masih setia kepada kapten.

            "Jika kalian ingin pergi, cepat kalian pergi. Aku akan mendukung kalian. Kalian boleh membawa semua kapal kecil yang ada dikapal ini dan seluruh persenjataan lengkap. Tapi satu hal, jika kalian terancam akan kematian disana, kalian jangan merengek minta dinaikkan ke kapal ini kembali. Aku akan menendang wajah kalian jika kalian seperti itu."

            Akhirnya, semua awak kapal kecuali nahkoda dan navigator terjun ke lautan menjauhi pulau tersebut dan pergi kepulau seberang. Kapal terasa sepi setelah ditinggalkan oleh banyak awak kapal. Tetapi kapten tetap tidak peduli dengan apa yang terjadi, tujuannya hanya satu, INGIN MERAIH TUJUANNYA.

            Semakin mendekati pulau, badai semakin menerjang. Gelombang laut menggulung-gulung hingga beberapa kaki tingginya. Angin badai bertiup menghancurkan gelombang dan pecah. Kondisi pulau itu sangat tidak memungkinkan untuk hidup dan bertempat tinggal.

            Mereka menyandarkan kapal mereka dipantai pulau tersebut dan ombak masih saling mengejar dengan cepat dan menghancurleburkan pasir. Sejauh mata memandang, banyak hewan aneh disana. Hewan ganas yang siap menerkam mangsa yang ada didepannya. Yang haus akan darah mangsanya. Suasana yang terjadi disana adalah memang musimnya hewan untuk memperoleh keturunan. Tidak ada yang boleh mengganggu keharmonisan mereka. Tidak terkecuali manusia yang selalu ingin memperburuk keadaan dan tidak tahu malu.

            “Kapten, aku mempunyai firasat buruk disini. Suasana disini sangat mencekam. Banyak kematian menyaksikan kita disini. Kurasa ini bukanlah pilihan yang tepat.” Navigator mulai merasa takut.

            “Wahai kapten, saya pengikut setia anda. Tetapi saya sarankan supaya kita berlabuh ke pulau lain sementara waktu. Setelah badai mereda, kita kembali kesini.”kata nahkoda kapal.

            Kapten bajak laut menuju kearah hutan seolah tertarik oleh aroma emas dan perak yang ada dipulau tersebut. Ia tidak memperdulikan saran dari bawahannya. Ia berambisi dan terus menerus mencari hingga ia puas dan mulai memperdulikan orang lain. Namun sekarang ini, ia tidak memperdulikan nyawa orang lain, termasuk nyawa dirinya.

            Sementara itu ditempat dimana semua awak kapal berada yang dipimpin oleh Raijawan.

            “Teman-teman, kita sementara beristirahat dahulu. Kita sandarkan perahu-perahu kecil ini ke pantai dipulau ini. Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan apabila kita kelelahan. Mari kita berburu dan mencoba mencari harta karun yang ada dipulau ini. Jika kita mendapatkannya, kita beruntung. Jika tidak, nyawa kita masih dalam keadaan normal.” Raijawan mengajak teman-temannya.

            Mereka semua beristirahat santai di pantai yang ditiup oleh angin yang menyejukkan badan. Tidak, bahkan hati dan jiwa pun terasa sejuk oleh suasana disana. Burung berkicau dan terbang diangkasa pertanda langit yang cerah. Ombak dengan pelan menuju pantai dan menyapu pasir. Sungguh, suasana yang berbanding terbalik dengan pulau yang mantan kapten mereka jejaki sekarang. Karena suasana pulau tersebut sangat damai, mereka secara tidak sadar telah tertidur pulas karena kelelahan menghadapi ombak dan badai.

            Sang fajar sudah siap menyinari bumi dengan cahaya ganasnya. Ia sudah terlalu lama beristirahat dan ingin bekerja demi kepentingan makhluk bumi. Kini giliran rembulan yang beristirahat sejenak.

            “Teman-teman, segera bangun. Kalian tidak ingin mati kelaparan kan ? Ayo kita mulai berburu dan mendapatkan makanan. Kita akan bertahan hidup disini.” Suara seorang Raijawan sudah seperti pemimpin, namun lebih berkarisma dan bersahabat.

            Semua teman-temannya segera bangkit dari perjalanan mereka dialam bawah sadar mereka. Kantuk masih menyerang pikiran mereka. Namun ketika berbicara masalah perut, itu sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Mereka mengambil peralatan yang dibawa dari kapal besar dan siap untuk berburu dan mendapatkan makanan.

            Ketika berburu, mereka tampak bahagia. Mereka tersenyum karena tidak takut akan kematian dan tekanan yang diberikan. Mereka berburu rusa, babi, bahkan ular. Mereka tampak menikmati hidup yang diberikan oleh Tuhan. Berbeda ketika mereka berada dibawah naungan mantan kapten mereka. Mereka selalu dibentak karena tidak mendapatkan hasil buruan untuk dibagikan ke teman mereka. Bahkan pernah seorang Raijawan tidak sengaja menghabiskan makanannya ditendak wajahnya hingga lebam karena dianggap tidak mau berbagi kepada sesama. Tapi kali ini berbeda, karena tidak ada tekanan, maka mereka santai dan mendapatkan hasil buruan yang memuaskan.

            Sampai mereka merasa kenyang dan bersantai sejenak, mereka memilih untuk berjalan-jalan dipulau tersebut. Barangkali mereka menemukan sedikit harta yang ditinggalkan para pendahulunya dahulu.

            Semakin menyusuri hutan, binatang-binatang liar semakin menampakkan dirinya. Angin berhembus semakin kencang, pertanda akan ada sesuatu yang terjadi. Jangkrik dan katak bernyanyi untuk memanggil hujan agar turun membasahi bumi.

            Seketika, alangkah terkejutnya salah seorang teman ketika menelaah hutan dan menemukan suatu tempat. “Eh Raijawan, coba kau lihat kesini.”teriaknya.

            Firasat Raijawan mengatakan akan ada suatu hal yang terjadi. Namun ia urungkan niatnya setelah temannya memanggilnya dengan keras dan penuh semangat.
“APA-APAAN INI ?” Teriak seorang teman histeris sekaligus terkejut.

            Diwaktu yang sama, ditempat dimana Kapten bajak laut tersebut berada.

            “Mari kita segera temukan harta karun disini. Aku sudah merasakan hawa harta karun dan juga hawa kemenangan kita.”

            “Tapi disini sangat berbahaya kapten. Saya takut tidak bisa kembali ke kapal.” Kata seorang navigator.

            “Kapten, mungkin kapal kita akan segera lenyap terbawa arus laut yang dibantu oleh angin dan hujan badai disini kapten. Aku akan memeriksanya dahulu.” Kata nahkoda kapal.

            “JANGAN, jika kalian ingin kembali, kita temukan dahulu harta karun disini. Kita tidak akan kehilangan nyawa. Hewan disini sebenarnya jinak, hanya mereka melihat orang baru jadi mereka sedang beradaptasi.” Sang kapten sudah hafal tetek bengek dari beberapa pulau terpencil.

            Mereka melanjutkan perjalanan. Hewan dengan sayap membentang seperti burung namun berbadan seperti kadal berkeliaran dan bergerombol menakuti 3 orang tersebut. Semakin kedalam hutan, keadaan semakin kacau. Tanah yang semakin becek yang membuat nahkoda tenggelam hingga setengah badan, tubuh navigator tertiup angin yang sangat kencang karena angin. Hutan yang lebat membuat cahaya matahari tidak tertembus. Gua-gua yang gelap terhampar diantara hutan tersebut. Hanya kapten yang tidak patah semangatnya. Jiwanya terus membara haus akan kemenangan. Kemenangan yang ingin ia peroleh dengan anak buahnya. Namun, yang tersisa hanyalah navigator dan nahkoda.

            Sebenarnya mereka berdua adalah anak dari teman kapten bajak laut tersebut. Karena temannya tersebut meninggal setelah terseret gelombang laut karena mencari harta karun bersamanya, kapten tersebut merasa bertanggung jawab atas insiden tersebut. Ia berjanji akan menjadikan kedua anaknya tersebut sebagai bajak laut yang membelah samudra dan menembus langit. Bahkan ia menganggap temannya tersebut sebagai saudara kandung dan anaknya adalah anak tirinya sendiri. Ia benar-benar merasa kehilangan temannya tersebut.

            “Kapten, saya sarankan sebaiknya kita beristirahat di gua saja. Aku mulai merasa capek berhari-hari kita berjalan dan hanya memakan binatang buas yang kita bunuh. Kita tidak pernah tidur selama kita memasuki pulau ini.” Kata navigator.

            “ Benar seperti kata saudara saya tersebut kapten. Kita mulai kelelahan. Setidaknya berilah kita sedikit waktu untuk sejenak melepaskan penat. Kaki saya mulai terasa berat untuk berjalan. Sepertinya ada kesalahan letak pada tulang saya.” Nahkoda menambahkan.

            “Waktu kalian beristirahat hanya sekitar 5 jam. Itu cukup untuk mengembalikan stamina kalian yang sudah terkuras selama ini.”

            Waktu berlalu, mereka berdua tertidur didalam gua, sementara kapten masih melihat keadaan apakah masih harus berjalan ataukah beristirahat sejenak untuk 5 jam kedepan. Hujan sudah berjam-jam yang lalu namun tidak berhenti. Terasa guncangan gunung berapi yang sedang meletus tidak jauh dari gua yang mereka tempati. Sebenarnya gua itu adalah tempat yang paling aman dari binatang buas. Itulah sebabnya kapten mengizinkan anak buahnya tersebut untuk beristirahat.

            Kapten tersebut mencoba melihat area dalam gua. Ia mengambil sebatang kayu kering dan memercikkan api dengan batu supaya mendapatkan api untuk penerangan. Didalam gua sangat gelap, tidak ada apapun selain kegelapan yang mengisi area dalam gua tersebut.

            Brakkk!!

            Kaki kapten tersentak pada benda yang keras. Ia tidak tahu benda apakah itu. Selama ini yang ia lihat hanyalah api dan kegelapan yang menemaninya masuk menerobos kedalam gua tersebut. Namun ia tahu aroma apa itu. Aroma kemenangan.

            Namun, betapa terkejutnya ia mendekatkan obornya ke benda tersebut. Itu adalah peti. Namun ia tidak tahu apakah itu peti yang berisi emas atau berisi mayat. Ia mencoba memberanikan diri untuk membuka peti tersebut.

            Oh Tuhan. Itu adalah emas. Benar-benar emas dan perhiasan lainnya. Permata, Intan, Perak, Perunggu, Emas, dan batu-batu indah lainnya berada dalam satu peti. Ia benar-benar tidak mengira bahwa ia akan menemukan harta karun yang ia selama ini cari. Ia benar-benar menyesal tidak membawa banyak awak kapal untuk dibagi-bagikan. Namun ia senang hanya berbagi tiga dari harta tersebut. Setidaknya itu membuatnya menjadi semakin kaya.

            Segera kapten berlari terjungkal-jungkal berlari menuju anak buahnya sekaligus anak tirinya tersebut. Beberapa kali ia terjatuh didalam gua yang gelap sebelum ia menemukan anak buahnya tersebut sudah tidak bernyawa. Ia menyesal telah memaksakan kehendak dirinya. Ia sadar bahwa dirinya terlalu berambisi untuk mendapatkan tujuannya. Ia terlalu egois pada seluruh anak buahnya. Namun ia lebih kehilangan kedua anak tirinya tersebut.

            Dengan sedih hati, ia menyeret peti harta tersebut dengan menggunakan tali yang dililitkan dengan batang tanaman yang lumayan kuat. Ia menyeretnya sendirian menuju ke pantai dan ke kapal. Sekali lagi, sendirian.

            Sementara itu ditempat Raijawan dan teman-temannya berada.

            “Tunggu, bukankah ini kampung kita ? Kampung yang selama ini kita tinggalkan.” Kata seorang teman.

            “Sudah banyak berubah ya setelah sekian lama kita membelah lautan bersama-sama.” Teman yang lain menambahkan.

            “Ini berbeda sekali dengan apa yang kita cari selama ini.”

            “Tenanglah wahai teman-teman. Sebaiknya kita periksa kampung ini terlebih dahulu dengan berjalan-jalan.”

            Suasana dikampung tersebut sangat hangat. Anak kecil bermain, ada yang bermain petak umpet, ada juga yang bermain sepak bola, bahkan gadis kecilpun tidak mau kalah. Mereka bermain tali yang dililitkan dan memutarnya bersama-sama. Salah satu dari mereka meloncat melewati tali tersebut agar tidak dianggap kalah. Warga disana sangat ramah. Aroma perkebunan kopi melesat laju masuk kedalam lubang hidung. Cuaca cerah berawan.

            “Tunggu, bukankah itu istriku ? Ia ? Anakku ? Ia sudah besar.” Salah seorang teman melihat istrinya dan anaknya yang ia tinggalkan selama beberapa tahun. Ia mencium kening istrinya dan langsung menggendong anaknya tersebut. Ia sangat rindu dengan keluarganya. Ia menangis bahagia.

            “Itu ibu dan ayahku. Hahaha, mereka semakin tua ya? Sudahlah, langsung aku peluk saja mereka.” Teman yang lain yang selama rindu pada orang tua akhirnya bertemu dan langsung memeluk erat orang tuanya tersebut.

            Teman-teman yang lain menemui keluarganya dan berkumpul bersama. Sementara Raijawan mengingatkan teman-temannya supaya berkumpul di pantai dimana mereka melabuhkan perahu mereka. Ia ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting.

            Sementara menunggu teman-temannya, Raijawan duduk diatas tebing yang curam. Ia mengingat apa yang ia lakukan kepada kaptennya beberapa waktu lalu. Ia merasa bersalah karena meninggalkan kaptennya tersebut hanya bertiga. Sementara ia hanya mengajak, bukan menyuruh teman-temannya supaya tetap hidup.

            Raijawan adalah seorang budak yang ditemui kaptennya. Kapten melihat ia adalah seorang anak yang pemberani dan cerdas. Raijawan sejak kecil sudah mampu membaca arah mata angin dan gelombang laut. Tubuhnya juga kuat nan kekar. Sampai kapten memerdekakan dirinya dengan satu syarat, ia harus menjadi awak kapal kapten. Raijawan menyetujuinya.

            Raijawan juga dilatih bertarung oleh nahkoda untuk melindungi dirinya dan orang lain. Hanya berkisar 6 bulan, ia sudah mahir memainkan pedang sekaligus tameng untuk berperang. Ia juga memperdalam ilmu alam yang dilatih oleh navigator. Navigator senang mendapatkan murid cemerlang. Sebagai seorang awak kapal, ia tidak pantas disebut begitu. Karena ia sudah melebihi kapten sekalipun.
            
            Namun Raijawan merasa aneh pada kaptennya selama ini. Semenjak kaptennya kehilangan cincin kesayangannya, ia mulai berambisi untuk menjadi kaya kembali. Padahal sebelumnya ia tidak menginginkan harta, namun kebahagiaan. Itu yang didapat Raijawan setelah belajar dari kaptennya tersebut. Ia sudah merasa lelah dengan perubahan sikap kaptennya tersebut.

            “Hey, kenapa melamun begitu ? Ayolah, kita rayakan bersama.”

            Suara seorang sahabat memecah lamunan Raijawan yang mendalam.

            “Ehh, Oh iya. Aku ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian. Mohon berkumpullah seperti biasa.”

            Sebenarnya tidak perlu diberi komando sekalipun, para awak kapal sudah tahu maksud dari Raijawan. Jika ia memanggil semuanya berarti itu penting dan harus berkumpul rapi.

            “Begini, aku mohon maaf atas keegoisanku membawa kalian kesini. Aku tidak bermaksud demikian. Aku secara kebetulan menginginkan pulau ini untuk tempat beristirahat kita.”

            “Sudahlah, itu lupakan saja. Kami sudah mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan.”

            “Benarkah ? Apakah itu harta karun ?” Raijawan penasaran.

            “Ya. Itu adalah Harta karun terbesar sepanjang sejarah kita.” Kata seorang teman.

            “HARTA KARUN TERBESAR ITU ADALAH KELUARGA.” Mereka serempak menyorakkan menyebut nama Raijawan yang menjadi pahlawan mereka selama ini. Mereka bercanda dan membawa Raijawan ke tepi pantai dan menceburkannya ke tepi laut. Mereka terlihat senang sekali.

            Sementara itu ditempat Kapten bajak laut berada.

            “Oh Tidak. Ini mimpi burukku.”

            Ia terkejut dan melepaskan ikatan peti harta karun yang didapatnya. Kakinya melemas setelah melihat kapalnya sudah pergi meninggalkannya karena terbawa arus laut. Tidak, mimpi buruknya yang terbesar adalah ia melihat gelombang setinggi 30 meter sedang menghampirinya.

            “TUHAN, AMBILLAH NYAWA SEORANG YANG EGOIS INI. SESEORANG YANG MEMBUAT TEMAN-TEMANNYA MENINGGALKANNYA. SEORANG YANG MEMBUAT ANAK TIRINYA MENINGGAL KARENA KEEGOISANNYA. SESEORANG YANG BERNAMA PANTAVEJA.” Ia berteriak sambil menghampiri Tsunami tersebut. Tak lama setelah itu, ia terseret Tsunami dan menghilang tanpa bekas sedikitpun.
           
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca Yang Baik akan selalu memberi komentar yang baik