GADIS PANTAI
Cerpen Vebri
Satriadi
Semilir angin mencoba menerobos
lewat tubuh. Terasa kesejukkan yang sendu dan menenangkan hati saat angin
tersebut melewati tubuh. Cuaca cerah dengan sedikit awan seputih kapas
menggantung indah dilangit biru. Ditambah aroma pantai dan suara tabrakan ombak
semakin membuat tubuh ini pasrah kepada kehendak Tuhan.
Aku terbaring dan menikmati suasana
pada saat itu. Suasana yang baru pertama kali aku temukan selama hidupku.
Biasanya aku hanya melihat pantai wisata yang sangat ramai dikunjungi para
wisatawan. Air yang kotor, pasir yang mulai menghitam, dan ombak yang deras
sangat tidak cocok dengan apa yang kusebut dengan ketenangan selama ini.
Sempat memejamkan mataku sebentar
seraya ingin menikmati suasana pantai tersebut. Berbaring diatas tumpukan pasir
yang menggunung ditemani suara burung yang bernyanyi pertanda mereka bahagia
akan suasana tersebut. Semakin lama semakin terlelap kedalam lamunan yang seakan
tak berdasar.
“Halo tuan.”
Aku terkejut mendengar suara
tersebut.Mencoba menerawang suara siapakah yang kudengar tadi.
“Halo tuan?”
Kali ini aku mencoba bangun dari
tidurku tadi. Sambil mengusap mata, telingaku semakin tajam mendengar suara
tersebut. Aku mencoba untuk membuka mata. Astaga, aku melihat seorang gadis
berambut pony berekor kuda. Kulit putih mulus dengan tahi lalat disekitar mata
dan mulut. Wajah bulat dan pipi tembam. Dengan mata coklat gelap bersinar
semakin menambah keindahan dalam dirinya.
“Tuan, apakah engkau tidak mendengar
suaraku? Tuan?” kali ini dia memiringkan kepala seakan mengikuti kepalaku yang
sedang terbaring.
Sepertinya aku harus bangun. Berat
sekali badanku untuk duduk karena mungkin tidurku sangat lama. Kakiku pegal karena
kutekukkan pada saat aku tertidur. Tanganku ? Yah, semacam kesemutan karena aku
menjadikannya bantal. Aku seakan menarik kembali nyawaku yang berkeliaran di
alam mimpi. Aku mengira ini hanya mimpi, tapi ini kenyataan. Sudah kubuktikan
ketika gadis tersebut menampar pipiku karena ia mengira aku ini orang yang
tuli, dan itu terasa sakit.
Sungguh, aku mengira hanya aku
seorang yang mengetahui tempat ini setelah berkeliling didesa kakekku berada.
Aku melihat pasir putih yang tersapu ombak yang tenang. Beberapa batu besar
menghiasi keindahan pantai tersebut. Namun, setelah melihat wanita tersebut,
aku seakan malu pada diriku sendiri.
“Tuan sedang tidur?”
“Oh, tadinya iya. Tetapi.......”
Ia kemudian bangkit dari keadaan
jongkoknya tersebut. Ia sempat tersenyum kecil kepadaku, kemudian ia berlari
keliling pantai dengan kakinya yang kecil dan putih tersebut. Aku heran,
semakin lama kupandang, ia hanya berlari-lari tak karuan di sekitar pantai.
Berlari sambil melompat ? Kukira itu adalah kegiatan yang anak kecil lakukan.
Apakah ia masih SD ? Tidak, dari raut wajahnya ia terlihat seperti seorang
remaja.
Ketika aku mulai menemukan pantai
tersebut, aku tertarik akan pemandangan yang diberikan pantai tersebut
kepadaku. Seakan menarikku kembali dari hiruk pikuk kota yang bising. Tertarik
dari suasana ramai dan menyebalkan. Suara deburan ombak yang kucari selama ini.
Kali ini aku kembali kesana setelah
mengerjakan tugas. Dibawah pohon rindang, disebelah kanan terdapat batu yang lumayan
besar.Tingginya seperti setengah dari tinggi badanku. Bulat dan lumayan mulus. Aku
terbaring disana seakan itu adalah kasurku sendiri.
“Itu adalah tempat favoritku. Tuan
suka disini?”
Kembali aku dikejutkan oleh suara wanita.
Aku tahu suara ini. Gadis yang kutemui beberapa hari yang lalu.
“Oh. Maaf. Aku mengambil tempatmu.
Silahkan.”
“Baiklah jika tuan berkata seperti
itu.”
Dia tanpa ragu mengambil tempat
dimana aku berbaring tadi. Aku berpindah posisi dari berbaring menjadi duduk
menyandar ke pohon. Tepat disebelah kanannya.
“Kau sudah lama disini?”aku
memberanikan diri untuk berbicara padanya.
“Aku tiap hari kesini.”dengan nada
datar sambil memejamkan matanya.
Apa ? Dia tiap hari kesini? Dia
tidak sekolah ? Pertama aku ingin menanyakan tentang pendidikannya namun
kuurungkan niatku setelah melihat dia sangat menikmati posisinya saat ini.
“Apakah tuan suka dengan tempat ini.
Aku juga suka dengan tempat seperti ini. Tempat ini membuatku tenang.”
“Aku baru kemarin menemukan tempat
ini. Walaupun aku menemukannya dengan tidak sengaja.”
Dia tersenyum, bibirnya tebal
dibagian bawah dan memerah. Merah yang lembut, yang sepertinya tidak memakai
make up yang berlebihan. Mungkin malah ia tidak menggunakan make up sedikitpun.
Aku suka dengan wajahnya.
Kami berbicara bersama cukup lama.
Sampai kami menyaksikan sunset yang
berada di ufuk barat. Mentari yang tergelincir dan siap digantikan oleh sang
rembulan. Namun tetap berada pada posisi yang sama.
Esok hari, aku kembali ke pantai
tersebut dan melihatnya berlari tak karuan. Seiring kumelihatnya berlari,
terlihat seperti sebuah tarian. Tarian yang membuatnya senang. Dengan spontan,
aku mengambil tempat di tebing pantai dan melihatnya dari atas. Wajahnya bulat
dan tembam. Dengan mata bulat sedikit menyipit. Bibirnya menunjukkan bahwa ia
terlihat bahagia.
Angin bertiup sedikit lebih kasar
daripada biasanya. Mentari memancarkan sinar dengan ganas pada hari itu. Tetapi
tetap tidak membuat rasa kantukku menghilang pada saat itu. Setelah
menyelesaikan tugas dari guru, aku lebih memilih tempat tersebut untuk
menyegarkan pikiran. Tetapi yang ada mataku semakin lama semakin terasa berat.
Perlahan tapi pasti, angin bertiup lembut dan menutup mataku untuk beberapa jam
kedepan.
Terlihat matahari sudah memerah
menandakan hari sudah mencapai sore hari. Burung-burung bernyanyi dan terbang
bebas di depan mataku. Tangan kananku terasa memegang sesuatu. Lembut dan aku
tau apa ini. Tangan seorang wanita. Sedikit demi sedikit aku menoleh kearah
darimana tangan itu berasal. Semakin lama tangannya mulai menggenggam tanganku.
Semakin erat ia menggenggam, semakin cepat jantungku bergetar, semakin hangat
terasa di dada. Ia tertidur tepat disamping tempat aku tertidur.
Tanpa terasa, jam tanganku sudah
menunjukkan pukul setengah 6 sore. Tetapi kulihat dia belum membuka matanya.
Dia terlihat tersenyum sambil tertidur. Wajah merah merona, bibir tebal
dibagian bawah, pipi yang chubby ditambah lekukan bibirnya yang membuatku
tersenyum.
“Tuan?”
“Y-Ya.”
“Tuan sudah lama disini, maaf aku
mengganggu tuan.”
“Tidak apa. Aku memang sedang
menikmati pemandangan dari sini. Disini indah sekali.”
“Memangnya tuan baru tahu kalau
disini sangat indah?”
“Maklumi saja. Baru kemarin aku
menemukan tempat ini.”
“Tuan baru menemukan tempat ini?”
“Ya, benar sekali.”
“Lalu tuan sekarang mau melakukan
apa?”
“Tidak ada. Aku sedang mengosongkan
pikiranku.”
“Tuan sedang mengosongkan pikiran?
Oh iya. Namaku Diana.”
Setelah itu aku tidak lagi mendengar
suaranya. Tangannya perlahan melepaskan tanganku. Semakin lama semakin dalam
aku terdiam dalam kesenduan yang mendalam dan menikmati indahnya sunset pada
saat itu.
Tak lama, hujan mulai meneteskan air
yang murni. Air yang sangat bersih dan tidak ada satu kotoranpun yang masuk.
Perlahan tapi pasti hujan semakin deras. Aku memutuskan untuk pergi dari pantai
tersebut.
“Kau tidak pulang?”
Aku sudah tidak melihatnya. Aku
terlalu menikmati suasana pantai tadi. Sampai-sampai aku melupakan dirinya.
Aku menekan starter motorku dan
langsung pergi dari tempat tersebut.
Setelah hari itu, aku semakin
ketagihan akan keindahan pantai tersebut. Setidaknya empat kali seminggu aku
pergi kesana dan setiap hari itu juga aku melihat gadis itu berlari tak karuan
yang terlihat seperti tarian. Aku tersenyum melihatnya tersenyum sambil berlari
sebagai pertanda bahagia apabila melihat ia bahagia.
Aku memutuskan untuk menemuinya dan
bertanya.
“Kenapa kau selalu berlari dan
melompat di pantai ini?”
“Karena aku senang melakukan itu.”
“Kau senang melakukan itu dan kau
tidak merasakan capek?”
“Aku tidak merasakan capek.” Dengan
nada datar dan polos ia mengatakan itu.
Kemudian ia melanjutkan rutinitasnya
yang kulihat sebagai pekerjaan orang yang aneh. Kini ia semakin cepat berlari
dan semakin tinggi melompat. Ombak pecah berderai didepan tempat ia
berlari. Awan seakan melindungi dirinya
dari sengatan panasnya sinar matahari.
Seakan melihat bidadari disekitar
pantai, mulutku terbuka saat melihatnya berlari kecil dan tertawa melihat
ombak, menginjak pasir dan merasakan angin yang berhembus. Aku tahu persis dia
mirip dengan seseorang. Tapi aku tidak tahu itu siapa.
Esok pagi, aku sengaja ke pantai
tersebut dalam keadaan kantuk masih menghantuiku. Aku baru selesai menunaikan
kewajiban sebagai seorang Muslim. Saat aku kesana, aku melihat matahari mulai
terlihat dan secercah cahaya masuk ke permukaan bumi. Aku melihat sebuah sunrise, tetapi aku lebih tercengang
saat melihat gadis tersebut masih berlari tak karuan.
Ia memberikan secarik surat. Ia
mengatakan padaku bahwa itu harus dibuka pada saat aku tidak berada disini. Aku
mengabulkan permintaannya. Tetapi entah kenapa kakiku bergerak dengan
sendirinya menuju pantai tersebut. Aku tidak akan pernah bosan disana ditambah
ada gadis tersebut disana. Selalu. Namun aku tidak pernah berbicara padanya,
satu kalimat, satu kata, bahkan satu huruf sekalipun.
Namun, suatu hari aku jatuh sakit.
Aku tidak bisa kemana-mana. Bahkan bergerak pun badanku terasa sakit tak
karuan. Aku teringat gadis itu pernah memberikanku sebuah surat. Aku penasaran
apa isi surat tersebut.
Perlahan aku buka
penutup surat dan kuangkat surat tersebut pelan-pelan agar tidak merusaknya.
Aku menemukan beberapa bercak merah di surat tersebut.
Tuan, pernahkah tuan mengingat pertama kali kita bertemu ? Kita bertemu saat tuan sedang tertidur dan kukira tuan sudah mati, maka aku pun menampar tuan untuk menguji apakah tuan memang benar-benar sudah mati atau kah bukan. Haha, itu lucu sekali tuan. Tapi, kejadian itu tak akan pernah kulupakan tuan. Namun, apakah tuan tahu bahwa ketika tuan membaca surat ini, aku sudah tidak ada didunia ini lagi. Aku sudah pergi tuan. Kali ini, aku meminta tuan untuk melihat pantai tersebut untukku sebagai tanda perpisahan kita. Ketika tuan disana, tuan tidak akan menemukan sosokku kembali. Oh iya, bolehkah aku menyebutmu “Tuan Pantai?”Diana
Tanpa
berpikir panjang, aku langsung menuju pantai itu dalam keadaan pusing. Aku
sebenarnya tidak mampu untuk berjalan apalagi sampai menaiki motor. Namun, aku
tahan rasa sakit itu untuk memenuhi permintaannya untuk terakhir kali.
Dan ternyata benar, sosok yang
selama ini kutunggu saat ke pantai tersebut sudah tidak berlari kecil kembali,
tidak melompat, apalagi tersenyum. Tidak ada sosok yang membangunkanku saat
tertidur disana. Tidak ada lagi sosok yang mengejutkanku saat aku terlelap
dalam lamunan yang panjang. Sosok yang sudah tidak ada didunia ini lagi.
Aku menyesal tidak dapat berpamitan
dengannya. Bahkan akupun tidak membalas jabatan tangannya sebagai tanda
pertemanan. Aku sadar bahkan pada saat pertama kali bertemu, aku sudah
kehilangan kesadaran tentang apa yang ada didalam diriku. Hanya ada dia
seseorang. Dia yang sudah berada di alam lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik akan selalu memberi komentar yang baik