Sabtu, 04 Oktober 2014

Gadis Pantai

GADIS PANTAI
Cerpen Vebri Satriadi

            Semilir angin mencoba menerobos lewat tubuh. Terasa kesejukkan yang sendu dan menenangkan hati saat angin tersebut melewati tubuh. Cuaca cerah dengan sedikit awan seputih kapas menggantung indah dilangit biru. Ditambah aroma pantai dan suara tabrakan ombak semakin membuat tubuh ini pasrah kepada kehendak Tuhan.

            Aku terbaring dan menikmati suasana pada saat itu. Suasana yang baru pertama kali aku temukan selama hidupku. Biasanya aku hanya melihat pantai wisata yang sangat ramai dikunjungi para wisatawan. Air yang kotor, pasir yang mulai menghitam, dan ombak yang deras sangat tidak cocok dengan apa yang kusebut dengan ketenangan selama ini.

            Sempat memejamkan mataku sebentar seraya ingin menikmati suasana pantai tersebut. Berbaring diatas tumpukan pasir yang menggunung ditemani suara burung yang bernyanyi pertanda mereka bahagia akan suasana tersebut. Semakin lama semakin terlelap kedalam lamunan yang seakan tak berdasar.

            “Halo tuan.”

            Aku terkejut mendengar suara tersebut.Mencoba menerawang suara siapakah yang kudengar tadi.

            “Halo tuan?”

            Kali ini aku mencoba bangun dari tidurku tadi. Sambil mengusap mata, telingaku semakin tajam mendengar suara tersebut. Aku mencoba untuk membuka mata. Astaga, aku melihat seorang gadis berambut pony berekor kuda. Kulit putih mulus dengan tahi lalat disekitar mata dan mulut. Wajah bulat dan pipi tembam. Dengan mata coklat gelap bersinar semakin menambah keindahan dalam dirinya.

            “Tuan, apakah engkau tidak mendengar suaraku? Tuan?” kali ini dia memiringkan kepala seakan mengikuti kepalaku yang sedang terbaring.

            Sepertinya aku harus bangun. Berat sekali badanku untuk duduk karena mungkin tidurku sangat lama. Kakiku pegal karena kutekukkan pada saat aku tertidur. Tanganku ? Yah, semacam kesemutan karena aku menjadikannya bantal. Aku seakan menarik kembali nyawaku yang berkeliaran di alam mimpi. Aku mengira ini hanya mimpi, tapi ini kenyataan. Sudah kubuktikan ketika gadis tersebut menampar pipiku karena ia mengira aku ini orang yang tuli, dan itu terasa sakit.

            Sungguh, aku mengira hanya aku seorang yang mengetahui tempat ini setelah berkeliling didesa kakekku berada. Aku melihat pasir putih yang tersapu ombak yang tenang. Beberapa batu besar menghiasi keindahan pantai tersebut. Namun, setelah melihat wanita tersebut, aku seakan malu pada diriku sendiri.

            “Tuan sedang tidur?”

            “Oh, tadinya iya. Tetapi.......”

            Ia kemudian bangkit dari keadaan jongkoknya tersebut. Ia sempat tersenyum kecil kepadaku, kemudian ia berlari keliling pantai dengan kakinya yang kecil dan putih tersebut. Aku heran, semakin lama kupandang, ia hanya berlari-lari tak karuan di sekitar pantai. Berlari sambil melompat ? Kukira itu adalah kegiatan yang anak kecil lakukan. Apakah ia masih SD ? Tidak, dari raut wajahnya ia terlihat seperti seorang remaja.

            Ketika aku mulai menemukan pantai tersebut, aku tertarik akan pemandangan yang diberikan pantai tersebut kepadaku. Seakan menarikku kembali dari hiruk pikuk kota yang bising. Tertarik dari suasana ramai dan menyebalkan. Suara deburan ombak yang kucari selama ini.

            Kali ini aku kembali kesana setelah mengerjakan tugas. Dibawah pohon rindang, disebelah kanan terdapat batu yang lumayan besar.Tingginya seperti setengah dari tinggi badanku. Bulat dan lumayan mulus. Aku terbaring disana seakan itu adalah kasurku sendiri.

            “Itu adalah tempat favoritku. Tuan suka disini?”

            Kembali aku dikejutkan oleh suara wanita. Aku tahu suara ini. Gadis yang kutemui beberapa hari yang lalu.

            “Oh. Maaf. Aku mengambil tempatmu. Silahkan.”

            “Baiklah jika tuan berkata seperti itu.”

            Dia tanpa ragu mengambil tempat dimana aku berbaring tadi. Aku berpindah posisi dari berbaring menjadi duduk menyandar ke pohon. Tepat disebelah kanannya.

            “Kau sudah lama disini?”aku memberanikan diri untuk berbicara padanya.

            “Aku tiap hari kesini.”dengan nada datar sambil memejamkan matanya.

            Apa ? Dia tiap hari kesini? Dia tidak sekolah ? Pertama aku ingin menanyakan tentang pendidikannya namun kuurungkan niatku setelah melihat dia sangat menikmati posisinya saat ini.

            “Apakah tuan suka dengan tempat ini. Aku juga suka dengan tempat seperti ini. Tempat ini membuatku tenang.”

            “Aku baru kemarin menemukan tempat ini. Walaupun aku menemukannya dengan tidak sengaja.”

            Dia tersenyum, bibirnya tebal dibagian bawah dan memerah. Merah yang lembut, yang sepertinya tidak memakai make up yang berlebihan. Mungkin malah ia tidak menggunakan make up sedikitpun. Aku suka dengan wajahnya.

            Kami berbicara bersama cukup lama. Sampai kami menyaksikan sunset yang berada di ufuk barat. Mentari yang tergelincir dan siap digantikan oleh sang rembulan. Namun tetap berada pada posisi yang sama.

            Esok hari, aku kembali ke pantai tersebut dan melihatnya berlari tak karuan. Seiring kumelihatnya berlari, terlihat seperti sebuah tarian. Tarian yang membuatnya senang. Dengan spontan, aku mengambil tempat di tebing pantai dan melihatnya dari atas. Wajahnya bulat dan tembam. Dengan mata bulat sedikit menyipit. Bibirnya menunjukkan bahwa ia terlihat bahagia.

            Angin bertiup sedikit lebih kasar daripada biasanya. Mentari memancarkan sinar dengan ganas pada hari itu. Tetapi tetap tidak membuat rasa kantukku menghilang pada saat itu. Setelah menyelesaikan tugas dari guru, aku lebih memilih tempat tersebut untuk menyegarkan pikiran. Tetapi yang ada mataku semakin lama semakin terasa berat. Perlahan tapi pasti, angin bertiup lembut dan menutup mataku untuk beberapa jam kedepan.

            Terlihat matahari sudah memerah menandakan hari sudah mencapai sore hari. Burung-burung bernyanyi dan terbang bebas di depan mataku. Tangan kananku terasa memegang sesuatu. Lembut dan aku tau apa ini. Tangan seorang wanita. Sedikit demi sedikit aku menoleh kearah darimana tangan itu berasal. Semakin lama tangannya mulai menggenggam tanganku. Semakin erat ia menggenggam, semakin cepat jantungku bergetar, semakin hangat terasa di dada. Ia tertidur tepat disamping tempat aku tertidur.

            Tanpa terasa, jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Tetapi kulihat dia belum membuka matanya. Dia terlihat tersenyum sambil tertidur. Wajah merah merona, bibir tebal dibagian bawah, pipi yang chubby ditambah lekukan bibirnya yang membuatku tersenyum.

            “Tuan?”

            “Y-Ya.”

            “Tuan sudah lama disini, maaf aku mengganggu tuan.”

            “Tidak apa. Aku memang sedang menikmati pemandangan dari sini. Disini indah sekali.”

            “Memangnya tuan baru tahu kalau disini sangat indah?”

            “Maklumi saja. Baru kemarin aku menemukan tempat ini.”

            “Tuan baru menemukan tempat ini?”

            “Ya, benar sekali.”

            “Lalu tuan sekarang mau melakukan apa?”

            “Tidak ada. Aku sedang mengosongkan pikiranku.”

            “Tuan sedang mengosongkan pikiran? Oh iya. Namaku Diana.”

            Setelah itu aku tidak lagi mendengar suaranya. Tangannya perlahan melepaskan tanganku. Semakin lama semakin dalam aku terdiam dalam kesenduan yang mendalam dan menikmati indahnya sunset pada saat itu.

            Tak lama, hujan mulai meneteskan air yang murni. Air yang sangat bersih dan tidak ada satu kotoranpun yang masuk. Perlahan tapi pasti hujan semakin deras. Aku memutuskan untuk pergi dari pantai tersebut.

            “Kau tidak pulang?”

            Aku sudah tidak melihatnya. Aku terlalu menikmati suasana pantai tadi. Sampai-sampai aku melupakan dirinya.

            Aku menekan starter motorku dan langsung pergi dari tempat tersebut.

            Setelah hari itu, aku semakin ketagihan akan keindahan pantai tersebut. Setidaknya empat kali seminggu aku pergi kesana dan setiap hari itu juga aku melihat gadis itu berlari tak karuan yang terlihat seperti tarian. Aku tersenyum melihatnya tersenyum sambil berlari sebagai pertanda bahagia apabila melihat ia bahagia.

            Aku memutuskan untuk menemuinya dan bertanya.

            “Kenapa kau selalu berlari dan melompat di pantai ini?”

            “Karena aku senang melakukan itu.”

            “Kau senang melakukan itu dan kau tidak merasakan capek?”

            “Aku tidak merasakan capek.” Dengan nada datar dan polos ia mengatakan itu.

            Kemudian ia melanjutkan rutinitasnya yang kulihat sebagai pekerjaan orang yang aneh. Kini ia semakin cepat berlari dan semakin tinggi melompat. Ombak pecah berderai didepan tempat ia berlari.  Awan seakan melindungi dirinya dari sengatan panasnya sinar matahari.

            Seakan melihat bidadari disekitar pantai, mulutku terbuka saat melihatnya berlari kecil dan tertawa melihat ombak, menginjak pasir dan merasakan angin yang berhembus. Aku tahu persis dia mirip dengan seseorang. Tapi aku tidak tahu itu siapa.

            Esok pagi, aku sengaja ke pantai tersebut dalam keadaan kantuk masih menghantuiku. Aku baru selesai menunaikan kewajiban sebagai seorang Muslim. Saat aku kesana, aku melihat matahari mulai terlihat dan secercah cahaya masuk ke permukaan bumi. Aku melihat sebuah sunrise, tetapi aku lebih tercengang saat melihat gadis tersebut masih berlari tak karuan.

            Ia memberikan secarik surat. Ia mengatakan padaku bahwa itu harus dibuka pada saat aku tidak berada disini. Aku mengabulkan permintaannya. Tetapi entah kenapa kakiku bergerak dengan sendirinya menuju pantai tersebut. Aku tidak akan pernah bosan disana ditambah ada gadis tersebut disana. Selalu. Namun aku tidak pernah berbicara padanya, satu kalimat, satu kata, bahkan satu huruf sekalipun.

            Namun, suatu hari aku jatuh sakit. Aku tidak bisa kemana-mana. Bahkan bergerak pun badanku terasa sakit tak karuan. Aku teringat gadis itu pernah memberikanku sebuah surat. Aku penasaran apa isi surat tersebut.


            Perlahan aku buka penutup surat dan kuangkat surat tersebut pelan-pelan agar tidak merusaknya. Aku menemukan beberapa bercak merah di surat tersebut. 

Tuan, pernahkah tuan mengingat pertama kali kita bertemu ? Kita bertemu saat tuan sedang tertidur dan kukira tuan sudah mati, maka aku pun menampar tuan untuk menguji apakah tuan memang benar-benar sudah mati atau kah bukan. Haha, itu lucu sekali tuan. Tapi, kejadian itu tak akan pernah kulupakan tuan. Namun, apakah tuan tahu bahwa ketika tuan membaca surat ini, aku sudah tidak ada didunia ini lagi. Aku sudah pergi tuan. Kali ini, aku meminta tuan untuk melihat pantai tersebut untukku sebagai tanda perpisahan kita. Ketika tuan disana, tuan tidak akan menemukan sosokku kembali. Oh iya, bolehkah aku menyebutmu “Tuan Pantai?”

Diana

            Tanpa berpikir panjang, aku langsung menuju pantai itu dalam keadaan pusing. Aku sebenarnya tidak mampu untuk berjalan apalagi sampai menaiki motor. Namun, aku tahan rasa sakit itu untuk memenuhi permintaannya untuk terakhir kali.

            Dan ternyata benar, sosok yang selama ini kutunggu saat ke pantai tersebut sudah tidak berlari kecil kembali, tidak melompat, apalagi tersenyum. Tidak ada sosok yang membangunkanku saat tertidur disana. Tidak ada lagi sosok yang mengejutkanku saat aku terlelap dalam lamunan yang panjang. Sosok yang sudah tidak ada didunia ini lagi.

            Aku menyesal tidak dapat berpamitan dengannya. Bahkan akupun tidak membalas jabatan tangannya sebagai tanda pertemanan. Aku sadar bahkan pada saat pertama kali bertemu, aku sudah kehilangan kesadaran tentang apa yang ada didalam diriku. Hanya ada dia seseorang. Dia yang sudah berada di alam lain.

            Aku ingat ia mirip dengan siapa. Gadis yang dahulu sangat kucintai dan kujaga. Wajah bulat dan chubby, kulit putih mulus dengan tahi lalat disekitar bibir dan mata, mata menyipit ketika tersenyum dan bibir yang tertawa terlihat seperti sebuah pelangi. Ia mirip dengan adikku yang sudah tiada. Aku harap kau bertemu dengan seorang seperti Diana, Dik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca Yang Baik akan selalu memberi komentar yang baik